Pasca kesuksesan Ada Apa Dengan Cinta 2 (2016) yang meraih lebih dari 3 juta penonton tahun ini, Miles Films akan segera merilis layar lebar terbarunya yang berjudul Athirah. Riri Riza kembali dipercaya untuk menangani film yang diadaptasi dari novel karya Alberthiene Endah dengan judul yang sama tersebut.
Athirah menggambarkan pergulatan seorang perempuan Bugis yang ingin mempertahankan keutuhan keluarganya saat ada perempuan lain memasuki kehidupan suaminya. Di saat yang sama, anak lelaki tertuanya yang masih remaja, Ucu, mengalami kesulitan memahami Athirah dan konflik yang sedang terjadi di tengah keluarganya.
Ditemui pasca konferensi pers peluncuran OST Athirah berjudul Ruang Bahagia oleh Endah N Rhesa, Senin (22/8) lalu, sang sutradara mengaku jika mengarahkan film yang diangkat dari kisah nyata ibunda Wakil Presiden RI Jusuf Kalla ini menguak sisi emosionalnya sebagai sesama orang Makassar. Sebuah kisah yang mengingatkannya dengan kampung halaman.
Selain itu, kepada 21cineplex.com, Riri juga memaparkan beberapa latar belakang terkait alasan tertarik menggarap film yang ternyata syuting sebelum AADC 2 ini, pemilihan pemain, hingga keterlibatannya sebagai penulis skenario layar lebar yang akan tayang 29 September 2016 itu bersama dengan Salman Aristo. Berikut petikan wawancaranya.
Apa yang membuat Mas Riri tertarik menyutradarai film ini?
"Ini adalah kesempatan yang sulit sekali saya tolak. Saya merasa sangat terhormat dan bahagia bisa membuat film ini. Begini, saya sudah bikin film sejak 1996 dan sampai sekarang saya sudah memotret berbagai pelosok Indonesia, tapi belum Sulawesi Selatan. Padahal ini tempat saya berasal. Athirah adalah film pertama yang saya buat di Sulawesi Selatan yang sebenarnya khusus, karena saya lahir di sana, orang tua saya juga punya darah Bugis dan Makassar. Cerita ini dekat sekali dengan saya. Saya merasa kenal betul dengan apa yang digambarkan dalam novelnya secara detil. Dan, saya juga ingin menyampaikan apa yang selama ini saya dengar dari ibu kandung saya kepada penonton luas. Walaupun berkisah rumah tangga yang sangat intimate sebenarnya, terjadi di dalam ruang keluarga dari Bapak Wakil Presiden Jusuf Kalla, (tapi) sebetulnya saya mengenal cerita ini mungkin bukan spesifik tentang ibu Athira, tapi banyak dari bagiannya yang merupakan pengalaman saya hidup di rumah sendiri. Saya pikir ini adalah satu film yang mudah-mudahan bisa dengan baik menggambarkan kisah keluarga, karena itu bukan sesuatu yang sederhana. Kalau pengalaman saya buat film selama ini kisah-kisahnya berada di luar, tokoh-tokohnya solid, tapi ini tentang ibu dan keluarga di dalam ruang domestik."
Mas Riri tentu sudah baca novelnya, apa kesan yang didapat soal sosok Athirah?
"Ketika saya membaca novel Athirah, saya merasa mengenal betul ruang keluarga yang digambarkan Alberthiene Endah dengan sangat detail dalam novel ini. Walau almarhumah ibu saya tidak mengalami apa yang dialami Athirah, tapi kekuatannya dapat saya rasakan pula dalam sosok ibu saya. Sebenarnya saya melihat ada nilai universal yang sangat menarik untuk jadi tontonan di film ini. Seperti saya bilang tadi, selama ini saya bikin film itu di ruang luar yang luas. Kali ini, mungkin 80 persen settingnya di dalam rumah. Di dapur, meja makan, kamar tidur dan bagaimana mereka berinteraksi di dalamnya. Jadi, buat saya ini kisah yang memberi ruang bermain, bergerak atau berekspresi yang akan sangat pas dan mungkin tidak banyak kesempatannya. Saya dari dulu itu selalu punya cita-cita mau bikin film dengan bahasa ibu saya. Ingin menggambarkan bagaimana ibu saya ngobrol di rumah, manggil saya 'Ri, makan ko, tambah ko, tambah nasinya banyak-banyak'. Atau kayak 'Sini ko!' Kalau saya di mau pergi ditanyain berulang-ulang mau ke mana, pergi sama siapa. Semua hal kayak gitu, saya baca novel ini dan ngobrol dengan keluarga, monumen di dalam rumah itu adalah ibu dan saya alami sejak saya kecil. Itu yang paling utama."
Kultur Makassar spesifik seperti apa sih yang ingin digambarkan film ini?
"Tentu saja setiap budaya punya ciri khasnya. Kalau di sini saya bisa menceritakan tentang misalnya makanan apa sih yang biasanya ada di dalam rumah keluarga Bugis, Makassar? Dan itu adalah satu hal yang menjadi perekat, sangat menarik. Kita juga bisa lihat di sini tentang budaya kain sutra Bugis, satu karya seni dengan keterampilan yang sangat tinggi ya menurut saya dan ceritanya panjang. Mulai dari memelihara ulat, memberi makannya, kemudian menjadikannya sutra. Banyak aspek sejarah dan budaya yang bisa juga muncul di dalam film ini. Jadi, pengalaman yang luar biasa, kami syuting di Bone, Sengkang selama 32 hari, menciptakan suasana Makassar tahun 1950 sampai pertengahan 1960-an. Sebuah tantangan yang buat kami sangat menyenangkan."
Kalau untuk skenario, sejauh mana keterlibatan Mas Riri dalam penulisannya bersama Salman Aristo?
"Sebenarnya prosesnya tetap sama sih, saya ikut juga menulis skenario. Jadi, skenarionya tidak selesai oleh Salman pada saat sedang dikerjakan oleh pihak lain. Tapi begitu sampai ke kami, tetap saja harus melakukan penggodokan lagi dan saya juga mendapat kredit sebagai penulis skenarionya. Tapi, memang istimewanya begini, ini adalah kisah yang sebenarnya lama menjadi kayak rahasia umum di Makassar. Kalau kita tinggal di Makassar, tidak ada yang tidak kenal H. Kalla. Bukan Jusuf Kalla, lho, lain antara H. Kalla dan Jusuf Kalla. H. Kalla itu di tahun 1970-80an dikenal luas. Kalau lihat mobil di Makassar, kita ingat Kalla, karena di sana dulu lebih banyak mobil Toyota daripada di Jakarta, sebab yang menjadi distributornya ada di Makassar. Keluarga yang hebat, tapi banyak sekali rumor tentang ibu Athira dimadu oleh Pak H. Kalla. Itu kan sesuatu yang luar biasa dan ketika saya kemudian diundang, ngobrol dengan Pak JK, dia menceritakan ini kepada saya. Buat saya itu satu peristiwa yang sangat menarik ya. Maksudnya, saya belajar banyak sekali tentang ibu dan saya sangat relate dengan cerita ini dan kita cukup banyak menghabiskan waktu untuk menemukan angle-nya melalui berbagai tahapan. Sebab waktu itu kan sempat saat udah mau syuting tiba-tiba Pak JK running untuk wakil presiden. Dulu itu saya bikin film ini rileks sekali. Tapi, ketika pada kenyataannya di tengah-tengah proses Pak JK diminta oleh Jokowi untuk jadi wapres, tiba-tiba kita harus tunggu dulu, karena saya sebenarnya paling hati-hati dengan itu. Saya nggak mau film ini jadi kayak sebuah politic statement atau propaganda politik atau apapun. Karena dari awal Pak JK dan keluarga ingin sekali film ini dengan jujur menceritakan pengalaman mereka."
Tapi tetap saja film ini berkaitan erat dengan Jusuf Kalla, apakah ada muatan politik di dalamnya?
"Pokoknya saya nggak ada tujuan, nggak mau tahu dan nggak ngurusin itu. Saya bikin film ini karena saya tertarik dengan kisah Athira, bahkan bukan dengan kisah Jusuf Kalla yang di cerita ini menjadi seseorang yang hampir kayak saksi bagaimana ibunya harus mengalami ini, mempertanyakan berulang-ulang sampai akhirnya mengerti. Bukan persoalan gampang bagi seorang anak untuk memahami bagaimana ibunya berada di dalam situasi dimadu. Kalau di zaman sekarang kita dengar perempuan dimadu, orang teriak, bahkan ada yang masuk tv, ngadu ke DPR. Di masa itu nggak, berbeda sama sekali."
Sebagai pemeran Athirah, Mas Riri pilih Cut Mini. Bisa dijelaskan kenapa?
"Selain harus enak diajak bekerja sama, saya mengagumi aktor yang adaptif dengan tokoh yang dia perankan, punya kemampuan riset dan mau keluar dari zona nyamannya. Cut Mini masuk dalam golongan aktor ini. Makanya kita ajak casting. Dia asyik saja berkeliling sambil naik becak, keluar masuk pasar, dan bergaul dengan orang-orang sekitar."
Untuk lisensi kreatif, apakah keluarga H. Kalla memberikan batasan-batasan?
"Intinya begini, sebenarnya saya tuh memahami dari awal bahwa ini bukan persoalan yang mudah bagi keluarga. Jadi kami diberi kebebasan, tapi kami tahu apa yang sebenarnya paling kuat dari cerita ini, bagaimana menceritakannya, saya merasa ada cara dan sama sekali nggak diapa-apain jadinya. Skrip saya pun nggak dibaca, cuma ngobrolnya agak banyak, gitu. Sempat dua kali datang ketemu Pak JK di rumah dinas. Saya sempat keliling Bone untuk menemui kakaknya, adiknya, ngobrol dengan orang-orang yang mengenal Mak Haji. Ya sebanyak mungkin yang saya bisalah. Dan kalau disebut kebebasan kreatif, minimal saya tidak pernah merasa dihalang-halangi membuat apapun."
(Sumber : 21cineplex)