Selamat Datang di MiCreative Pictures Blog

Rabu, 02 November 2016

Rambo akan Direboot, Hadir Dengan Nuansa James Bond

John Rambo akan kembali beraksi di layar lebar. Namun kali ini tanpa melibatkan Sylvester Stallone, karena film teranyar ini akan menjadi reboot yang mengusung aktor utama baru.
Reboot ini sendiri berjudul Rambo: New Blood dan disutradarai Ariel Vromen (Criminal). Naskah yang ditulis Brooks McLaren (How It Ends) dikabarkan menghadirkan John Rambo sebagai karakter yang serupa dengan James Bond. Lebih lanjut, Nu Image/Millennium Films selaku rumah produksi New Blood, membidik aktor lebih muda untuk memerankan sang veteran Perang Vietnam bermasalah yang terkenal jago menghabisi satu pasukan musuh sekaligus.
FYI, Rambo merupakan karakter rekaan David Morrell yang hadir di novel First Blood. Tercatat Stallone sudah empat kali memerankan Rambo dimulai dari First Blood (1982), Rambo: First Blood Part II (1985), Rambo III (1988) dan terakhir, Rambo(2008). Selain melejitkan nama Stallone, film-film Rambo yang sarat adegan action memukau juga selalu sukses dari segi box office. Rambo juga termasuk dalam daftar karakter ikonik film.
Detail cerita yang ditawarkan Rambo: New Blood sendiri belum terungkap, lantaran proyek ini masih di tahap awal pengembangan.
(Sumber : MovieEnthusiast)
Share:

Johnny Depp to Co-Star In J.K. Rowling’s "Fantastic Beasts" Sequel at Warner Bros

Johnny Depp is joining the cast of Fantastic Beasts And Where To Find Them, playing a co-starring role in the sequel which David Yates will direct early next year with Eddie Redmayne again in the lead role of Newt Scamander. I’ve confirmed this, but no one is saying exactly what role that Depp will play. But I believe that if you look carefully, you might spot him in a tiny turn in the first installment of the J.K. Rowling-created Harry Potter spinoff, which Warner Bros opens November 18. We’ll just have to wait and see how Depp complements the adventures of writer Newt Scamander in New York’s secret community of witches and wizards, 70 years before Harry Potter reads his book in school.

Depp films the sequel and becomes part of the universe after he completes another ensemble, the Kenneth Branagh-directed Fox whodunit Murder On The Orient Express. This would come before Depp takes roles in Labryinth, the drama about the murders of Tupac Shakur and Biggie Smalls, and before he stars as The Invisible Man. Depp, who was still at UTA when this was orchestrated, just recently moved to CAA.

(Sumber: Deadline)
Share:

David Harbour on "Stranger Things" and the Perfect Sheriff Hopper Costume

"Stranger Things" first took over Netflix this summer and now it's taking over Halloween.
Celebritiesfans and even CNN reporters are dressing up like "Stranger Things" characters this holiday. So how do you pull off strange, just right?
David Harbour, who plays Sheriff Jim Hopper on the series, spoke with CNN earlier this month about the perfect Sheriff Hopper costume and what's next for the spooky hit series.
    The conversation below includes spoilers from Season 1.
    "Stranger Things" really was a huge surprise hit. When did you know it was going to be a phenomenon?
    The first weekend that it came out, I kind of watched it with everybody. I hadn't seen a lot of the episodes and then my phone started lighting up. I got all these texts from like random people that I met at a party three years ago, or like kids I knew in middle school. People were really reacting to it in a really positive way. I've done a lot of work, and that had never happened to me before. That was when I was like, "Wow. This is something special."
    What really made you want to play Sheriff Hopper?
    It's such a sophisticated, three-dimensional character and what the character goes through is so amazing. One of the things I love is people kind of tweet out in the second episode, they're like, "I hate this guy." Then by episode four or five, they're like, "I love Hop. He's my guy."
    He has all these issues and all this pain that he masks with sarcasm and with this acting out and this shtick that he's developed. Then you start to unravel that throughout the series, and you start to see that this is just a broken man who's trying to survive. That type of complexity opens up empathy for all sorts of people. That's wonderful and rare to be able to play a character that rich.
    What are you hoping for Hopper in the next season?
    There's some interesting things that we leave off with at the end of season one. He gets into the car after he visits Will in the hospital and he goes back to the lab. So we're not done with the lab, and we're not done with Hopper's involvement in terms of that upside down world, and what they've created, and what they've opened.
    He also leaves Eggo waffles and a plate of food in a box in the woods, right? Presumably, the Eggo waffles are for Eleven. In some sense, he has some sort of knowledge or understanding that she's out there, or some form of her is out there. My interpretation was that he feels guilty for selling her out and that he brings her that food to try to get back in good with her.
    I want to peel back the onion on him and I want to understand more about his backstory. I want to understand more about this death of his child, which I think there is more story there.
    What do you think that "Stranger Things" says about our culture right now that this nostalgic series has been so popular?
    There's this quality that I used to experience as a child when I went to the movies. It's called magic of the movies. You'd go to a movie and it would feel like a magical experience. I think some people have the experience of "Stranger Things" being this magical thing because even in how good it is, it's kind of clunky. It's not slick but it has real heart. I think it has real soul in terms of the performances, in terms of the story, and in terms of the way it's shot.
    I think as a nation, we are tired of our entertainment being so produced. I think we long for people who just genuinely want to touch people, genuinely want to move people. We were scared. We didn't know if what we were making was good. We just wanted to tell a good story. We were all kind of humbled. I hope we maintain that for Season 2 with the success of this. But I hope we go back [to production] and we're just like, "We just want to tell you a rip-roaring story that's like a rip-roaring good time, and also really punch you in the gut." Hopefully we can do that.
    So what's your advice for pulling off the perfect Sheriff Hopper costume this Halloween?
    First of all, we're going to start a little low on the body. We're going to start with the hand, and I think there should be a nice Schlitz beer in the hand -- well cracked and foamy. I want you to put a pack of pills in your pocket. And then I want you to think about an angry look. I want you to think about a nice, wide-brimmed hat. And then, of course, I want you to have the fists good and ready for a nice right hook.
    (Sumber: CNN)
    Share:

    Riri Riza Tak Kuasa Menolak Sutradarai Film Athirah

    Pasca kesuksesan Ada Apa Dengan Cinta 2 (2016) yang meraih lebih dari 3 juta penonton tahun ini, Miles Films akan segera merilis layar lebar terbarunya yang berjudul Athirah. Riri Riza kembali dipercaya untuk menangani film yang diadaptasi dari novel karya Alberthiene Endah dengan judul yang sama tersebut.

    Athirah menggambarkan pergulatan seorang perempuan Bugis yang ingin mempertahankan keutuhan keluarganya saat ada perempuan lain memasuki kehidupan suaminya. Di saat yang sama, anak lelaki tertuanya yang masih remaja, Ucu, mengalami kesulitan memahami Athirah dan konflik yang sedang terjadi di tengah keluarganya.


    Ditemui pasca konferensi pers peluncuran OST Athirah berjudul Ruang Bahagia oleh Endah N Rhesa, Senin (22/8) lalu, sang sutradara mengaku jika mengarahkan film yang diangkat dari kisah nyata ibunda Wakil Presiden RI Jusuf Kalla ini menguak sisi emosionalnya sebagai sesama orang Makassar. Sebuah kisah yang mengingatkannya dengan kampung halaman.

    Selain itu, kepada 21cineplex.com, Riri juga memaparkan beberapa latar belakang terkait alasan tertarik menggarap film yang ternyata syuting sebelum AADC 2 ini, pemilihan pemain, hingga keterlibatannya sebagai penulis skenario layar lebar yang akan tayang 29 September 2016 itu bersama dengan Salman Aristo. Berikut petikan wawancaranya.

    Apa yang membuat Mas Riri tertarik menyutradarai film ini?
    "Ini adalah kesempatan yang sulit sekali saya tolak. Saya merasa sangat terhormat dan bahagia bisa membuat film ini. Begini, saya sudah bikin film sejak 1996 dan sampai sekarang saya sudah memotret berbagai pelosok Indonesia, tapi belum Sulawesi Selatan. Padahal ini tempat saya berasal. Athirah adalah film pertama yang saya buat di Sulawesi Selatan yang sebenarnya khusus, karena saya lahir di sana, orang tua saya juga punya darah Bugis dan Makassar. Cerita ini dekat sekali dengan saya. Saya merasa kenal betul dengan apa yang digambarkan dalam novelnya secara detil. Dan, saya juga ingin menyampaikan apa yang selama ini saya dengar dari ibu kandung saya kepada penonton luas. Walaupun berkisah rumah tangga yang sangat intimate sebenarnya, terjadi di dalam ruang keluarga dari Bapak Wakil Presiden Jusuf Kalla, (tapi) sebetulnya saya mengenal cerita ini mungkin bukan spesifik tentang ibu Athira, tapi banyak dari bagiannya yang merupakan pengalaman saya hidup di rumah sendiri. Saya pikir ini adalah satu film yang mudah-mudahan bisa dengan baik menggambarkan kisah keluarga, karena itu bukan sesuatu yang sederhana. Kalau pengalaman saya buat film selama ini kisah-kisahnya berada di luar, tokoh-tokohnya solid, tapi ini tentang ibu dan keluarga di dalam ruang domestik."

    Mas Riri tentu sudah baca novelnya, apa kesan yang didapat soal sosok Athirah?
    "Ketika saya membaca novel Athirah, saya merasa mengenal betul ruang keluarga yang digambarkan Alberthiene Endah dengan sangat detail dalam novel ini. Walau almarhumah ibu saya tidak mengalami apa yang dialami Athirah, tapi kekuatannya dapat saya rasakan pula dalam sosok ibu saya. Sebenarnya saya melihat ada nilai universal yang sangat menarik untuk jadi tontonan di film ini. Seperti saya bilang tadi, selama ini saya bikin film itu di ruang luar yang luas. Kali ini, mungkin 80 persen settingnya di dalam rumah. Di dapur, meja makan, kamar tidur dan bagaimana mereka berinteraksi di dalamnya. Jadi, buat saya ini kisah yang memberi ruang bermain, bergerak atau berekspresi yang akan sangat pas dan mungkin tidak banyak kesempatannya. Saya dari dulu itu selalu punya cita-cita mau bikin film dengan bahasa ibu saya. Ingin menggambarkan bagaimana ibu saya ngobrol di rumah, manggil saya 'Ri, makan ko, tambah ko, tambah nasinya banyak-banyak'. Atau kayak 'Sini ko!' Kalau saya di mau pergi ditanyain berulang-ulang mau ke mana, pergi sama siapa. Semua hal kayak gitu, saya baca novel ini dan ngobrol dengan keluarga, monumen di dalam rumah itu adalah ibu dan saya alami sejak saya kecil. Itu yang paling utama."

    Kultur Makassar spesifik seperti apa sih yang ingin digambarkan film ini?
    "Tentu saja setiap budaya punya ciri khasnya. Kalau di sini saya bisa menceritakan tentang misalnya makanan apa sih yang biasanya ada di dalam rumah keluarga Bugis, Makassar? Dan itu adalah satu hal yang menjadi perekat, sangat menarik. Kita juga bisa lihat di sini tentang budaya kain sutra Bugis, satu karya seni dengan keterampilan yang sangat tinggi ya menurut saya dan ceritanya panjang. Mulai dari memelihara ulat, memberi makannya, kemudian menjadikannya sutra. Banyak aspek sejarah dan budaya yang bisa juga muncul di dalam film ini. Jadi, pengalaman yang luar biasa, kami syuting di Bone, Sengkang selama 32 hari, menciptakan suasana Makassar tahun 1950 sampai pertengahan 1960-an. Sebuah tantangan yang buat kami sangat menyenangkan."

    Kalau untuk skenario, sejauh mana keterlibatan Mas Riri dalam penulisannya bersama Salman Aristo?
    "Sebenarnya prosesnya tetap sama sih, saya ikut juga menulis skenario. Jadi, skenarionya tidak selesai oleh Salman pada saat sedang dikerjakan oleh pihak lain. Tapi begitu sampai ke kami, tetap saja harus melakukan penggodokan lagi dan saya juga mendapat kredit sebagai penulis skenarionya. Tapi, memang istimewanya begini, ini adalah kisah yang sebenarnya lama menjadi kayak rahasia umum di Makassar. Kalau kita tinggal di Makassar, tidak ada yang tidak kenal H. Kalla. Bukan Jusuf Kalla, lho, lain antara H. Kalla dan Jusuf Kalla. H. Kalla itu di tahun 1970-80an dikenal luas. Kalau lihat mobil di Makassar, kita ingat Kalla, karena di sana dulu lebih banyak mobil Toyota daripada di Jakarta, sebab yang menjadi distributornya ada di Makassar. Keluarga yang hebat, tapi banyak sekali rumor tentang ibu Athira dimadu oleh Pak H. Kalla. Itu kan sesuatu yang luar biasa dan ketika saya kemudian diundang, ngobrol dengan Pak JK, dia menceritakan ini kepada saya. Buat saya itu satu peristiwa yang sangat menarik ya. Maksudnya, saya belajar banyak sekali tentang ibu dan saya sangat relate dengan cerita ini dan kita cukup banyak menghabiskan waktu untuk menemukan angle-nya melalui berbagai tahapan. Sebab waktu itu kan sempat saat udah mau syuting tiba-tiba Pak JK running untuk wakil presiden. Dulu itu saya bikin film ini rileks sekali. Tapi, ketika pada kenyataannya di tengah-tengah proses Pak JK diminta oleh Jokowi untuk jadi wapres, tiba-tiba kita harus tunggu dulu, karena saya sebenarnya paling hati-hati dengan itu. Saya nggak mau film ini jadi kayak sebuah politic statement atau propaganda politik atau apapun. Karena dari awal Pak JK dan keluarga ingin sekali film ini dengan jujur menceritakan pengalaman mereka."

    Tapi tetap saja film ini berkaitan erat dengan Jusuf Kalla, apakah ada muatan politik di dalamnya?
    "Pokoknya saya nggak ada tujuan, nggak mau tahu dan nggak ngurusin itu. Saya bikin film ini karena saya tertarik dengan kisah Athira, bahkan bukan dengan kisah Jusuf Kalla yang di cerita ini menjadi seseorang yang hampir kayak saksi bagaimana ibunya harus mengalami ini, mempertanyakan berulang-ulang sampai akhirnya mengerti. Bukan persoalan gampang bagi seorang anak untuk memahami bagaimana ibunya berada di dalam situasi dimadu. Kalau di zaman sekarang kita dengar perempuan dimadu, orang teriak, bahkan ada yang masuk tv, ngadu ke DPR. Di masa itu nggak, berbeda sama sekali."

    Sebagai pemeran Athirah, Mas Riri pilih Cut Mini. Bisa dijelaskan kenapa?
    "Selain harus enak diajak bekerja sama, saya mengagumi aktor yang adaptif dengan tokoh yang dia perankan, punya kemampuan riset dan mau keluar dari zona nyamannya. Cut Mini masuk dalam golongan aktor ini. Makanya kita ajak casting. Dia asyik saja berkeliling sambil naik becak, keluar masuk pasar, dan bergaul dengan orang-orang sekitar."

    Untuk lisensi kreatif, apakah keluarga H. Kalla memberikan batasan-batasan?
    "Intinya begini, sebenarnya saya tuh memahami dari awal bahwa ini bukan persoalan yang mudah bagi keluarga. Jadi kami diberi kebebasan, tapi kami tahu apa yang sebenarnya paling kuat dari cerita ini, bagaimana menceritakannya, saya merasa ada cara dan sama sekali nggak diapa-apain jadinya. Skrip saya pun nggak dibaca, cuma ngobrolnya agak banyak, gitu. Sempat dua kali datang ketemu Pak JK di rumah dinas. Saya sempat keliling Bone untuk menemui kakaknya, adiknya, ngobrol dengan orang-orang yang mengenal Mak Haji. Ya sebanyak mungkin yang saya bisalah. Dan kalau disebut kebebasan kreatif, minimal saya tidak pernah merasa dihalang-halangi membuat apapun."

    (Sumber : 21cineplex)
    Share:

    Apa Dampak yang Terjadi pada Visual Suatu Film di Era Digital Ini ?

    Tahun 1991 di salah satu bioskop di tanah air, saat saya terpana menyaksikan adegan perubahan wujud liquid yang menyatu dan membentuk kembali wujud karakter T-1000 dalam suatu adegan pertempuran dua cyborg di film Terminator 2 : Judgement Day. Saat itu, penggunaan CGI (Computer Generated Imagery) merupakan teknologi baru dalam industri perfilman, seiring dimulainya perubahan teknologi secara masif ke arah digital. Mungkin saya beruntung sebagai generasi yang tumbuh di akhir 80an dan awal 90an, menjadi saksi hidup akan evolusi efek spesial terhadap visual suatu film. Jika kita membicarakan film-film Hollywood, perubahan akan wujud digital terjadi secara signifikan di awal 90an. Jika di era 80an familiar dengan istilah painting matte, stop motion animation atau miniatur, maka mulai era 90an hingga kini kita familiar dengan istilah digital matte, CGI, augmented reality atau istilah lainnya. Menurut berbagai sumber, film Total Recall (1990) adalah salah satu film terakhir yang menggunakan miniatur secara total, dengan bantuan komputer digital yang masih minim dan terbatas penggunaannya. Studio-studio besar di Hollywood pun tak luput dari penggunaan software digital dengan biaya yang tinggi kala itu. Hasilnya adalah Terminator 2 : Judgement Day yang merupakan salah satu pionir dalam implementasi kecanggihan teknologi digital industri perfilman Amerika. Waktu pun terus berlalu, perkembangan teknologi digital terus berlanjut dengan keberhasilan berbagai film khususnya genre science fiction, fantasy, adventure atau action hingga superhero seperti Batman Returns (1992),  Jurassic Park (1993) atau The Mask (1994). Bahkan genre animasi pun mengalami revolusi besar-besaran, dengan ‘meninggalkan’ visual yang konservatif menjadi visual 3D akibat kesuksesan film Toy Story (1995) dari studio Pixar yang akhirnya dibeli oleh Disney.

    Lebih dari dua dekade berlangsung, era digitalisasi yang kini merambah kepada pengguna individu, semakin memudahkan kalangan di berbagai industri skala menengah dan kecil, tak terkecuali industri kreatif dan hiburan, khususnya film. Maka tak heran, maraknya berbagai studio atau perusahaan film independen dikarenakan salah satunya adalah penggunaan komputer digital. Bahkan, para individu –secara teknis- dapat membuat film sendiri. Kecanggihan kamera video dan perlengkapannya, serta kecanggihan software komputer grafis dan animasi, menjadi senjata utama dalam mengeksplorasi kreativitas dalam sebuah industri hiburan. Lalu, untuk promosi bagaimana? Tenang, media sosial selalu mendukung kampanye dalam upaya untuk mengkomunikasikan hal tersebut. Digitalisasi membuat perubahan visual film secara signifikan, namun dibalik kecanggihannya, selalu ada dampak positif dan negatif yang terjadi. Berikut adalah dampak positifnya : Yang pertama tentu lebih mudah dalam merealisasikan visual secara proper dan estetis, terutama jika ingin adaptasi cerita fantasi, adventure, epik atau saga, dan yang paling sering kita temui adalah superhero. Yang kedua adalah adanya efisiensi biaya dan ketepatan waktu produksi, misalnya pembuatan visual latar belakang (penggunaaan green screen atau blue screen), penggunaan miniatur yang minim atau efek ledakan tidak harus memakai bahan peledak yang sesungguhnya. Yang ketiga adalah keamanan kru film lebih terjamin, khususnya untuk para aktor-aktris serta stuntman dalam melakukan berbagai adegan yang berbahaya. Dan yang keempat adalah hasil akhir secara visual yang begitu mirip dengan wujud yang nyata dan detil, serta berbagai efek yang didramatisir secara maksimal. Sedangkan dampak negatif yang ditimbulkan adalah : Yang pertama, sering kita temui berbagai adegan aksi yang agaknya berlebihan, tidak masuk akal, meski memang menarik, namun seakan-akan kita seperti melihat visual ‘komik bergerak’, pengecualian ada di film-film superhero. Yang kedua adalah manipulasi efek visual yang berlebihan, yang mungkin akan menurunkan nilai dari film itu sendiri. Terkadang kita bisa melihat atau berpikir, mana yang lebih baik, visual secara digital atau secara nyata dalam wujud tiga dimensi, misalnya adegan kejar-kejaran dan baku hantam kendaraan, efek ledakan atau runtuhnya bangunan, efek mahluk mengerikan atau pula adegan aksi seseorang misalnya melompat sambil menembaki musuhnya. Sedangkan yang ketiga adalah manipulasi efek fisik aktor-aktris dalam film, seperti animasi wajah Jeff Bridges dalam Tron Legacy (2010), Bruce Willis dalam Surrogates (2009) atau Arnold Schawarzenegger di dua film Terminator yang terakhir, bahkan sang aktor tidak terlibat sama sekali –hanya meminjamkan wajahnya saja- dalam Terminator Salvation (2009). Memang sepertinya menyenangkan jika menyaksikan film-film tersebut, namun dengan adanya manipulasi digital, apakah akan mengurangi nilai dan esensi akan orisinalitas akting dan faktor humanisme dalam film itu sendiri?

    Kita menikmati suatu film dengan menggunakan kedua indera, yakni penglihatan yang diimplementasikan melalui visual dan pendengaran yang diimplementasikan melalui audio. Evolusi teknologi yang diterapkan dalam industri perfilman sepanjang sejarahnya -khususnya visual dan audio- jelas mengalami transformasi format ke arah yang lebih baik. Secanggih apapun teknologi yang sedang diterapkan dalam film, hasilnya ditinjau dari dua hal, yakni estetika dan pendapatan. Untuk estetika, bagaimanapun juga, hanya konsumen yang bisa menilai baik atau buruk, selain tentunya aspek lainnya seperti akting, dialog atau sisi humanisme. Sedangkan untuk pendapatan, adalah jika bisnis suatu film mendapat profit dan memiliki peluang untuk dilanjutkan kepada pembuatan seri berikutnya. Semuanya adalah perseptif atau sesuai selera, bagaikan menikmati hasil sebuah lukisan.

    (Sumber: Cinemags)
    Share: